Jumat, 30 Januari 2009

KUNCI KESUKSESAN MANUSIA

Oleh : Haryanto
Allah menciptakan manusia dengan seperangkat potensi yang melekat pada dirinya. Kuncinya adalah bagaimana manusia memaksimalkan potensi yang dimiliknya untuk merah kesuksesan baik sukses di dunia maupun di akhirat. Setiap manusia diberikan peluang potensi yang sama untuk berkarya meraih kesuksesan. Namun, yang membedakan manusia untuk meraih kesuksesan adalah pada dirinya sendiri.
Mari kita simak satu persatu, kunci kesuksesan manusia. Sukses adalah dambaan setiap insan. Namun tidak semua manusia dapat sukses sesuai dengan impian yang dinginkannya. Manusia diberikan perangkat untuk mencapai kesuksesan itu dan tanpa terkecuali. Siapapun bisa sukses dan Allah tidak pernah membeda-bedakannya.
Dimanapun, kapanpun dan siapapun berhak untuk sukses. Siapa bilang hidup ini tidak adil. Allah melihat sejauh mana usaha manusia untuk mencapai kesuksesannya. Siapa bilang Indonesia tidak bisa seperti Amerika (dalam beberapa sisi kehidupan). Sedangkan Allah memberikan waktu yang sama. Tidak ada yang beda kita dengan Amerika. Allah menciptakan otak kita sama dengan otak orang Amerika. Waktu di Amerika juga sama dengan di Indonesia. 60 detik = 1 menit, 60 menit = 1 jam, 24 jam = 1 hari, 7 hari = 1 minggu, dan 30 hari = 1 bulan, tidak ada yang beda. Yang membedakanya hanyalah usaha pemanfaatan waktu tersebut. Siapa yang berbuat dia yang mendapat manfaat. Ditegaskan dalam ayat yang pasti sudah kita hafal, tergantun kita mau apa tidak untuk berubah kea rah yang lebih baik.
…“Innalaaha laayughayyiruu maa bi qaumin hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim”…
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-Ra’du (Guruh: (13): 11)
Allah telah memberikan jalan kepada manusia untuk sukses. Jalan mana yang akan ditempuh oleh manusia, hanya manusia tersebut yang akan menempuhnya. Allah telah menyebutkannya dalam Kitab suci yang diturunkannya melalui malaikat Jibrial kepada nabi Muhammad Saw, surah Asy-Syam ayat, 7 yang berbunyi :
“Faalhamaha fujuraha wataqwaha”
Artinya : “Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaan”. (Q.S. Asy-Syams (Matahari: (91): 08).
Dalam menjalani kehidupan Allah telah memberikan kepada manusia hanya ada dua jalan. Dengan potensi yang dimilikinyalah manusia akan memilih jalan fujur (kejahatan) atau jalan taqwa (kebaikan). Sepertti Allah menciptakan segala sesuatu yang berpasang-pasangan. Ada siang maka ada malam, ada matahari, ada bulan, ada langit maka ada bumi, begitu seterusnya. Tidak ada di dunia ini yang berada posisi tidak jelas. Manusialah yang dapat memilih jalan itu dengan potensi yang dimiliki oleh manusia.
Manusia seperti yang telah disebutkan di atas telah dibekali oleh Allah Swt dengan seperangkat potensi. Potensi terbesar yang Allah berikan kepada manusia adalah akal manusia itu sendiri. Dengan akal fikiran inilah manusia dapat menentukan jalannya. Bahkan potensi inilah yang juga akan membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Siapa mau sukses tinggal dia yang memilihnya. Balasan Allah jelas akan diberikan Allah insan yang paripurna (sempurna). Siapa yang larut dalam kesesatan maka dialah yangh akan menjadikan dia sendiri lebih rendah derajatnya dari makhluk Allah. Sesungguhnya manusialah yang memilihnya sendiri.
Allah Swt berfirman dalam wahyunya : “Laqad khalaqnal insane fiii ahsanitaqwiim, Tsumma radadnaahu asfalasaa filiin”.
Artinya : “Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia, ke tempat yang serendah-rendahnya. (Q.S. At-Tiin (Buah Tin (95) : 4-5).
Sederhana saja konsepnya sehingga seorang mau sukses tergantung usahanya. Tidak akan ada gelombang sebelum ada riak dari sesuatu benda. Konsep sederhana yang ditawarkan Ustadz Abdullah Gymnastiar sudah berada di luar kepala kita. Ingat 3 M, mulai dari yang kecil, Mulai dari diri sendiri, dan Mulai dari sekarang. Konsep sederhana ini mungkin terlalau mudah untuk diucapkan. Namun dengan istiqamah dan konsisten terhadap ketiga konsep ini. Tidak menutup kemungkinan, kitalah termasuk orang yang berasal dari zero, kemudian menjadi seorang yang hero.
Terakhir, “orang baik bukanlah orang yang tidak pernah salah, namun orang baik adalah orang yang dapat memperbaiki diri dari kesalahan yang pernah dilakukannya”. Semoga kita dapat memanfaatkan potensi yang kita telah miliki untuk menjadi salah satu pribadi yang sukses. Amin ya rabbal alamin. Wallahu a’lam bishshawab.

Diterbitkan dalam Buletin Dakwah Edisi 002, 30 Januari 2009

Minggu, 11 Januari 2009

KONDOM BUKAN SOLUSI ATASI AIDS

Oleh Haryanto
Tanggal 1 Desember yang lalu diperingati sebagai hari Aids sedunia. Di Indonesia penyakit ini sudah pada fase yang sangat kritis (baca: peringkat aids). Khusus di Kalbar menempati peringkat ke-7 di Indonesia . Penyakit yang belum bisa ditemukan obatnya sampai saat ini sangat membahayakan bagi generasi saat ini. Bertapa tidak, penyakit seperti gunung es ini kebanyakan dari korban adalah pada generasi muda. Sedangkan generasi muda adalah cikal bakal dari keberlanjutan pembangunan bangsa.
Banyak cara dilakukan oleh orang-orang untuk memperingati hari aids sedunia. Membagikan selebaran, bunga, pemutaran film, aksi, dan lain-lain. Bahkan ada yang membagi-bagikan kondom. Menurut hemat penulis, komdom bukanlah solusi untuk mengatasi aids. Bahkan boleh jadi sebaliknya sebagai upaya untuk melegalkan seks bebas di kalangan remaja. Sangat tragis sekali di Kota Pontianak pernah ada wacana untuk membangun ATM kondom.
Apabila wacana ini disetujui oleh dewan, maka tidak dapat dibayangkan berapa banyak kondom yang terjual bebas di kota-kota. Maka seks bebas juga akan merajalela. Dan berdasarkan pengamatan kebanyakan dari pembeli kondom yang ada di apotik-apotik adalah kalangan remaja.
Masalah aids yang ada di Kalbar khususnya dan Indonesia pada umunya sebenarnya sama. Solusi kongkit untuk menangani persoalan ini adalah harus ada upaya dari semua pihak untuk mengentaskannya. Karena setiap masalah pasti ada solusinya. Cara menyelesaikan masalah tentu dengan mencari tahu apa akar penyebab dari masalah yang ada.
Kembali kepada masalah aids, akar penyebab dari permasalahan aids sebenarnya kita ketahui bersama adalah karena hubungan seks bebas. Logika sederhananya sebenarnya juga cukup mudah tidak ada aids apabila tidak ada seks bebas. Jika demikian upaya pencegahan yang perlu dilakukan adalah memberantas seks bebas tersebut sebagai akar dari penyebab aids itu sendiri. Bukan mengkampanyekan seks bebas dengan pemakaian komdom. Jika demikian yang dilakukan sama seperti kita memperbanyak korban aids untuk selanjutnya.
Memberantas akar penyebab masalah seks bebas (free sex) sebenarnya harus ada upaya bersama untuk itu. Seks bebas terjadi pasti diawali oleh pergaulan bebas yang dilakukan. Bisa saja terjadi dikalangan remaja, orang tua atau bahkan anak-anak. Atau bisa saja hal ini terjadi karena faktor-faktor lain, seperti tontonan televisi, kecanggihan teknologi, lingkungan, pendidikan agama, atau lain-lain.
Salah satu solusinya adalah menanamkan nilai-nilai agama kepada semua orang. Secara normatif, setiap agama pasti melarang penganutnya untuk melakukan hal-hal negatif seperti seks bebas (hubungan pra nikah). Secara substansi, motivasi agama sebenarnya adalah keselamatan atau kemaslahatan bagi manusia secara pribadi dan masyarakat. Sehingga nantinya tidak akan timbul penyesalan di akhirnya. Hal ini menjadi faktor yang sangat penting dalam upaya pencegahan penyakit aids ini.
Di samping itu, faktor lain juga sangat penting, yaitu lingkungan keluarga yang menjadi inti dari pendidikan anak sejak dini. Bagaimana orang tua mendidik anaknya dengan pendidikan agama merupakan hal yang menjadi sangat penting. Peran serta dari masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang harmonis bagi perkembangan generasi muda menjadi faktor yang juga tidak kalah pentinya dalam menunjang perbaikan etika dan moral yang baik pula.
Kepolisian sebagai aparat yang menciptakan keamanan dan ketertiban juga memainkan andil yang sangat besar. Aids yang ditimbulkan tidak lepas dari tempat-tempat yang menyulut pada seks bebas.
Untuk itu peran semua komponen masyarakat sangat diperlukan dalam mengatasi masalah ini. Tidak ada kata lain mari kita bersama-sama menjaga keluarga, bangsa dan Negara kita agara terselamat dari penyakit mematikan ini.
Akhirnya pada aspek korban aids, orang bijak pernah berkata bahwa orang yang baik itu bukanlah orang yang tidak pernah salah. Tetapi orang baik itu adalah orang yang selalu memperbaiki diri dari kesalahan tersebut. Dan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan serupa. Itu artinya orang dengan aids tidak perlu minder dengan apa yang ada, tapi berupayalah untuk terus berkarya.
…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Q.S. Ar-Ra’du (Guruh)(13): 11). Wallahu a’lam Bisshawab.

Jumat, 02 Januari 2009

MAKNA FILOSOFIS SHALAT BERJAMA'AH

Oleh Haryanto
Adzan terdengar dimana-mana mengajak umat muslim untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Selain merupakan tanda waktu bahwa shalat telah masuk waktunya agar tidak dilalaikan. Begitulah Allah telah mewajibkan;
“Maka dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya kepada orang-orang yang beriman (An-Nisa’ (Wanita)(4): 1
Shalat berjama’ah merupakan shalat yang sangat dianjurkan oleh agama Islam dengan segala keutamaannya. Sebut saja 27 derajat lebih baik berdasarkan sabda Rasulullah yang artinya :
“Shalat berjama’ah itu lebih utama dari pada shalat sendirian, dengan terpaut dua puluh tujuh derajat”.
Secara simbolis dan tekstual, makna shalat berjama’ah memang lebih utama dari shalat sendirian. Dengan balasan pahala yang dijanjikan. Lebih jauh dari itu, muncul pertanyaan, Apakah kita shalat berjama’ah hanya mengharapkan pahala ?, atau Kenapa kita harus shalat berjama’ah ?. Jika jawabannya ya, lalu muncul lagi pertanyaan, apakah Tuhan hanya adanya di masjid ?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan untuk mengutak-atik kepercayaan kita. Akan tetapi, ini bermaksud untuk mencari keyakinan sejati tentang apa-apa yang kita lakukan. Agar kita tahu hakikat sejati dari apa yang kita perbuat. Bukan hanya karena ikut-ikutan atau niatan lainnya.
Sesungguhnya makna secara filosofis dalam benak saya adalah bahwa di dalam shalat berjama’ah ada proses ketahuidan dari proses kepercayaan manusia akan Allah SWT. Ini juga merupakan gerakan ilahiah dari dalam diri manusia yang bersifat abstrak (tidak nyata) yang hanya bisa dirasakan oleh manusia itu sendiri. Sehingga terkadang sentuhan ilahiah ini yang meumbuhkan ketenangan, kedamaian, dan ketentraman dalam jiwa manusia yang terkadang tidak semua orang bisa merasakannya. Tak jarang menimbulkan rasa haru sehingga tak sadar butir-butir air mata keluar dari mata dari sentuhan ilahiah tersebut.
Ada suatu realita yang terjadi di masyarakat, sebagai contoh bahwa sebuah pemaknaan dari orang yang pergi shalat berjama’ah ke masjid. Orang yang pergi ke masjid dengan makna filosofis yang ada dalam shalat berjama’ah. Sesungguhnya bukan semata-mata bahwa dia mampu pergi ke masjid dengan fasilitas dan kondisi yang ada. Seperti dia sehat, kuat, kaya, “tidak punya masalah”, rumahnya dekat dengan masjid, ada kendaraan atau yang lainnya.
Kenyataanya, banyak kita lihat orang yang bisa mampu dengan fasilitas dan kondisi yang baik. Dia juga tidak pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah bahkan dia lebih shalat sendirian di rumah. Inilah bahwa sesungguhnya shalat berjama’ah bukan semata-mata bahwa kita “mampu” tetapi adanya unsur lain yang saya sebutkan adalah gerakan ilahiah.
Shalat sendirian di rumah tentu memiliki alas an sendiri untuk itu. Mampukah kita shalat secara khusyu’ di masjid dengan kondisi masjid yang kotor dan suasana bising atau rebut karena pengaruh-pengaruh yang lain. Mungkinkah kita lebih merasakan khusyu’ shalat sendirian di rumah dengan suasana yang hening dan tenang. Sehingga konteksnya kita lebih dekat dengan Allah dibanding dengan shalat berjama’ah. Bukankah itu alas an yang tidak salah.
Inilah alas an rasional yang terkadang muncul dalam benak kita. Perihal ini juga harus kita terjemahkan dalam bahasa dan makna rasional filosofis yang ada dalam realita itu. Secara konteks ini shalat berjama’ah mempunyai makna adalah puncak persatuan umat Islam. Dimana masjid kita ketahui pada masa dahulu merupakan center of activity (pusat aktivitas) bagi umat Islam.
Masjid dijadikan pusat kegiatan baik agama, sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, budaya, dan yang lainnya. Sehingga berbagai persoalan dapat dibicarakan di masjid dan solusi dari persoalan tersebut. Berkumpulnya umat muslim di masjid dapat dijadikan upaya pembangunan dan advokasi dalam mengatasi persoalan umat. Berbagai ide dan gagasan dapat direlisasikan untuk kepentingan bersama bagi kesejahteraan umat manusia.
Di masjid juga dapat saling mengenal dan berkomunikasi antar satu dengan yang lain. Hal ini dapat meninbulkan pemahaman dari berbagai karakteristik dan pribadi dalam suatu masyarakat. Hal ini tentu akan menekan terjadinya konflik antar umat karena perbedaan yang ada. Wallahu a’lam Bishshawab.

Diterbitkan dalam Buletin Al-Misyki

Kamis, 01 Januari 2009

MAHASISWA DAN URGENSI PERUBAHAN MORAL

Oleh Haryanto

Mahasiswa sebagai agent of change and social of control, harus mengambil peran yang strategis dalam segala lini kehidupan. Peran itu akan mampu direalisasikan jika mahasiswa memiliki bekal yang cukup. Tanpa bekal yang cukup mahasiswa akan terhunus oleh pegeseran waktu dan zaman yang menuntut kita harus selalu siap. Tidak ada kata lain, tambah ilmu dengan membaca, tambah iman dengan bersujud dan mendekatkan diri pada sang maha pencipta. Kuatkan mental, bentengi diri moral dan akhlak yang mulia. Lawan kedzaliman tanpa rasa takut, karena yang benar pasti akan menang.
Tanpa kerja keras seseorang tidak akan dapat mencapai tujuannya dengan sempurna. Hal tersebut merupakan proses seleksi alam. Mahasiswa dengan tradisi intelektualnya “membaca, berdiskusi dan menulis harus selalu dilestarikan. Tanpa budaya itu mahasiswa akan kehilangan kapasitas intelektual yang harus dimiliki.
Kenyataan dilematik sekarang, khusus di kampus-kampus yang ada di Pontianak. Budaya intelektual sekarang seakan redup digilas oleh pengaruh yang namanya “globalisasi”. Pengaruh ini akan berpengaruh kepada pergeseran moral yang menjadi ujung tombak bagi pemasalahan pendidikan di Indonesia. Hal ini menjadi sangat urgen karena mahasiswa adalah kaum elit terpelajar yang berpendidikan. Akar dari permasalahan itu semua adalah moral dan akhlak.
Arief Joni Prasetyo dalam Pontianak Post (Sabtu, 3 Mei 2008) mengatakan bahwa ruh pendidikan adalah akhlak dan moralitas. Maka output pendidikan yang baik adalah sejauhmana peserta didik memiliki akhlak dan moralitas yang baik. Jadi, pendidikan tanpa akhlak akan kehilangan ruhnya.
Lalu apa itu moral, sehingga menjadi suatu hal yang sangat penting, Kata moral sebenarnya berasal dari bahasa latin yaitu mores. Mores berasal dari kata mos yang artinya kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral juga mengandung arti ajaran tentang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan. Dengan asal katanya dapat kita tarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, yang memuat ajaran tentang baik buruknya perbuatan. Dengan ini, perbuatan dinilai sebagai perbuatan baik atau perbuatan buruk. (Burhanuddin Salam, 2000).
Moral ini sebenarnya adalah panduan yang ada dalam diri manusia untuk menilai sesuatu perbuatan apakah itu baik atau buruk yang berpunca dari hati nurani manusia.
Kembali kepada mahasiswa dan relitas permasalahnnya sekarang. Menurut hemat penulis, problematika yang dialami mahasiswa sekarang pada tingkatan yang sangat kompleks ada beberapa hal yang menjadi penyebab sehingga menimbulkan degradasi moral yang ada.

1. Budaya Hedonisme,
Hedonis adalah faham yang mengatakan tolak ukur kebaikan adalah kenikmatan atau kesenangan.
Faham ini sudah sedikit mengakar dalam jiwa mahasiswa sekarang. Sehingga tradisi intelektual yang ada seperti memberatkan mereka karena hal itu akan membuat mereka bosan dan jenuh. Mahasiswa lalu lebih senang menghiasi diri dengan kesenangan. Ke kantin, gosip sana-sini, lebih senang jalan-jalan ke mall dan lain-lain.
Budaya hedonis ini kemudian akan mengarah pada sikap pragmatis (asal mudah dan menguntungkan), materialis (kebendaan) dan lainnya. Ini sangat berbahaya bagi tatanan nilai bagi kemajuan dan pembangunan bangsa yang mengharuskan kepada generasi muda untuk selalu siap.
Che Guevara dalam Eko Prasetyo (2007: 117) mengatakan,”masyarakat yang dibangun atas dasar-dasar material biasanya gagal secara moral”.

2. Degradasi Kepekaan dan Kesadaran
Ini terlihat pada minimnya intensitas tradisi intelektual yang terjadi di kampus-kampus. Diskusi-diskusi yang diadakan oleh organisasi intra kampus, kadang dihadiri oleh minimnya peserta dari kalangan mahasiswa. Perpustakaan kadang menjadi tempat gosipan dan lainnya. Belum lagi mahasiswa dihadapkan dengan persoalan bangsa saat ini. Inilah kekhawatiran yang diungkapkan mengenai peran intelektual sudah mulai pudar di kalangan mahasiswa saat ini. Seperti yang digambarkan oleh Che Guevara berikut ini :
…fungsi dari intelektual-intelektual ini ialah untuk menanamkan homogenitas dan kesadaran akan fungsi ke dalam diri kelompok sosial yang menjadi induknya…fungsi yang bergerak melampaui medan ekonomi dan mencakup level sosial dan politik…tapi, para intelektual suka beranggapan diri mereka independen dan otonom. Mereka tak sadar akan adanya fakta bahwa mereka memiliki kaitan dengan sebuah kelompok sosial tertentu dimana mereka menjadi pembawa suaranya…..
Sudah lengkap rasanya mahasiswa dengan permasalahanya, kuncinya adalah perubahan moral. Hal ini sangat mendasar bagi keberlangsungan peran yang dimiliki oleh mahasiswa itu sendiri. Sebagai Negara yang beragama, agama dengan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya menjadi asupan yang sangat penting bagi para mahasiswa. Moral yang bersumber dari hati nurani sangat diperlukan dalam menentukan baik atau buruk suatu perbuatan.
Dengan itu, rasanya baik kita mencermati ungkapan Ali Syariati dalam upaya perbaikan bangsa ke depan. Selain pembenahan moral generasi bangsa ini. Tiga hal yang harus dibangun dalam diri manusia, meskipun manusia telah memiliki potensi dari tiga sifat yang ada tersebut. Dan ketiga hal tersebut saling terpaut antara satu sama lain. Ketiga sifat itu yaitu kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas. Dengan ketiga sifat itu, apabila dikembangkan, maka tidak menutup kemungkinan di tangan mahasiswa lah bangsa ini akan berani bersaing dikancah dunia. Wallahu a’lam bisshowab.


Disampaikan pada diskusi oleh Komunitas Bengkel Intelektual (KBI) Pontianak.

MEMAKNAI HARI PAHLAWAN DENGAN BERSIKAP PAHLAWAH (Refleksi Hari Pahlawan 10 November)

Oleh : Haryanto

10 November 1945 atau sekitar 63 tahun yang lalu merupakan titik kulminasi bagi pahlawan Indonesia . Karena hari itu diperingati sebagai hari pahlawan Nasional.
Kata pahlawan sangat identik dengan sebuah makna seseorang yang telah berjasa mengatasi penjajah bangsa ini. Pada zaman dahulu untuk menjadi seorang pahlawan haruslah berkorban baik itu materi, fikiran bahkan nyawa sekalipun untuk menumpaskan penjajah. Lantas apakah zaman sekarang tidak ada yang dapat di sebut pahlawan ?.
Pada zaman dahulu memang pahlawan merupakan seorang yang berkorban untuk melawan “penjajah”. Pada masa sekarang apakah kita sudah merdeka dari penjajah bangsa ini ?. Penjajah dalam artian sempit memang kita telah terbebas. Namun secara lebih luas bukankah kebodohan, kemiskinan, korupsi, merupakan penajajahan yang masih ada hingga saat ini.
Kita masih dijajah oleh bangsa kita sendiri. Untuk melawan penjajahan itu tentu harus ada orang yang menjadi pahlawan pada saat ini. Jika demikian, sangat diperlukan pahlawan-pahlawan baru, yang rela berkorban untuk menegakkan kebenaran dalam menunpas “penjajah” bangsa ini.
Menurut presiden, SBY, dalam majalah mingguan Time edisi 10 Oktober 2005 bertajuk The Making of A Hero, mengatakan bahwa pahlawan adalah orang (biasa) yang tidak egois dan berbuat sesuatu yang luar biasa”.
Artinya, siapa saja bisa menjadi pahlawan bagi bangsa ini dengan segala persoalan yang ada.
Katanya, seorang suami yang sehari-harinya bekerja keras, banting tulang, peras keringat demi tercukupinya kebutuhan hidup keluarganya, ia menjadi pahlawan bagi istri beserta anaknya. Begitupun sebaliknya, sang istri yang dengan penuh kesabaran dan cinta kasih sayang mengasuh anaknya agar kelak menjadi anak saleh/salehah, juga pahlawan buat suami dan anak, bahkan masyarakat luas.
Seorang dokter yang bekerja sungguh-sungguh demi kesembuhan sang pasien adalah pahlawan bagi si pasien. Guru yang bekerja untuk mencerdaskan anak didiknya juga pahlawan, bukan saja bagi murid-muridnya melainkan pula bagi negara/bangsa.
Di tengah kehidupan masyarakat, guru dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Begitu halnya petani, mereka juga menjadi pahlawan tanpa tanda jasa lantaran profesinya menjamin tersedianya pangan yang dibutuhkan segenap warga masyarakat.
Kita harus mampu menjadi pahlawan bagi bangsa ini. Sekecil apapun tindakan atau pengorbanan yang kita lakukan dengan penuh tanggungjawab dan rasa keikhlasan ini sangat membantu bagi mengatasi penajajahan dalam bangsa Indonesia .
Bersikap pahlawan tidaklah harus berperang melawan musuh-musuh bangsa dengan bom, parang, keris atau bambu runcing seperti pahlawan pada masa dahulu.
Kita semua layak disebut pahlawan, asalkan kita memanfaatkan potensi kemanusiaan yang kita miliki. Bukankah Tuhan telah memberikan potensi kemanusiaan yang lengkap kepada setiap manusia.
Menjadi akademis dengan memanfaatkan potensi akal fikiran yang diberikan oleh Tuhan. Dengan menyumbangkan ide bagi persoalan krisis multidimensional yang dihadapi bangsa ini adalah pahlawan bagi bangsa ini.
Membuang sampah pada tempatnya, menuntaskan kemiskinan dan korupsi adalah satu tindakan rela berkorban demi kepentingan bangsa dan Negara. Inilah nilai-nilai kepahlawanan yang harus dimiliki oleh setiap masyarakat Indonesia . Siapa lagi yang akan menjadikan kita seorang pahlawan kalau tidak kita sendiri yang menjadikan kita sendiri sebagai pahlawan.
Momentum hari pahlawan marilah kita berikan yang terbaik bagi bangsa ini di segala lini kehidupan. Sudah saatnya bangsa ini bangkit dari keterpurukan yang ada. Indonesia Bisa !!!. Wallahua’ lam Bisshowab.

DIMENSI MORAL IBADAH PUASA

Oleh : Haryanto
Tergeming dalam hati menulis, setelah membaca sebuah buku dari karangan Said Hawwa, berjudul Mensucikan Jiwa. Ada satu dimensi utama yang menjadi penting dalam ibadah puasa setelah ibadah wajid shalat dan zakat. Dimensi yang melekat pada jiwa manusia, yaitu manusia telah dibekali syahwat oleh Allah SWT.
Disebutkan dalam buku tersebut, bahwa syahwat terbesar yang dimiliki oleh manusia sehingga seringkali perbuatan yang dilakukannya menyimpang dari syariat adalah berasal dari perut dan kemaluan.
Dua syahwat terbesar tersebut berbanding sejajar dengan realita kehidupan saat ini. Banyak kejadian yang menyimpang berasal dari dua syahwat ini. Syahwat terbesar pertama yang datang dari perut. Kita pasti dapat melihat, berapa banyak orang yang rela (mohon ma’af) mencuri, “melacur”, bohong, korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain. Alasan semua itu dilakukan karena yang terbesar adalah karena alasan perut. Disamping ada sebab-sebab lain yang mungkin melatarbelakangi hal itu terjadi.
Syahwat terbesar kedua yang disebutkan setelah perut adalah yang berasal dari kemaluan. Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, dapat kita lihat tingkat kejahatan yang ditimbulkan juga besar. Banyak kejahatan yang ditimbulkan oleh syahwat ini. Kita sering melihat berita-berita di media massa , terjadinya pemerkosaan, perselingkuhan, aborsi, hamil di luar nikah. Kejahatan itu tentunya disebabkan ketidakmampuan manusia menahan syahwat yang berasal dari kemaluannya.
Kejahatan-kejahatan yang berasal dari dua syahwat terbesar di atas, menandai bahwa perlu adanya pembenahan terhadap nilai moralitas. Tentu hal yang dapat dilakukan yaitu dengan mengambil hikmah terbesar dari ibadah puasa dalam perbaikan moralitas dari syahwat yang berasal dari keduanya. Ibadah puasa tentunya sangat besar pengaruhnya dalam mengerem laju kejahatan-kejahatan yang disebabkan oleh hal tersebut.di atas.
Dalam Islam tidak ada upaya untuk membunuh kedua syahwat di atas, akan tetapi Islam mengajarkan kepada kita untuk selalu mengendalikan kedua syahwat tersebut. Salah satu cara untuk mengendalikan kedua syahwat tersebut yaitu dengan ibadah puasa.Sering kita mendengar pepatah, mencegah itu lebih baik dari mengobati. Pembinaan moral yang diajarkan oleh Islam, salah satunya tentu melalui ibadah puasa in. karena puasa sangat besar pengaruhnya untuk perbaikan moral bangsa.
Dalam pengertiannya, ibadah puasa yang diwajibkan bagi setiap umat Islam yang beriman, mengharuskan manusia dapat menahan makan dan minum pada siang hari. Ini bernilai dimensi (perut) agar manusai tidak berbuat serakah dan tamak, baik pada proses pencarian dan memakan harta yang dimiliki. Untuk itu juga, manusia dituntut untuk tidak makan dan tidak minum pada siang hari. Ini mampu mengatrol turunnya kejahatan dalam diri manusai yang disebabkan oleh syahwat yang berasal dari perut.
Apalagi kemalun, puasa sangat penting dan sangat besar perannya. Jangankan orang yang terang-terang sudah dilarang berhubungan (zina) (yang bukan suami istri). Suami istri saja yang notabene dihalalkan untuk berhubungan badan. Ketika berpuasa pada siang hari diharamkan melakukan hubungan badan. Ini mengajarkan kepada manusia agar menjaga kemaluan dari sifat-sifat yang tidak baik yang menjurus kepada kenistaan.
Dengan itu, puasa dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam upaya mencegah bahkan mengurangi tingkat kejahatan. Hal ini sekaligus berpengaruh akan perbaikan moral dari bangsa ini.
Sudah semestinya kita bersama-sama menjaga kesucian bulan ramadhan ini dengan melaksanakan amalan-amalan ibadah baik wajib maupun sunnah. Kita sangat menyayangkan. Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam, tingkat kejahatan yang diakibatkan dari dua syahwat terbesar dalam diri manusia yang telah disebutkan di atas masih tinggi.
Umat Islam harus intospeksi diri dalam perbaikan ke dalam. Bukankah puasa yang kita lakukan ini adalah untuk mencegah dari kejahatan yang timbulkan dari kedua syahwat tersebut. Apabila kenyataannya seperti itu. Akan timbul pertanyaan dari masing-masing kita. Ada apa dengan puasa yang telah kita lakukan ?. Tentu yang dapat menjawab itu semua adalah hati nurani kita masing-masing. Wallahua’lam bisshowab.

TINGKATAN-TINGKATAN ORANG BERPUASA

Oleh Haryanto

Puasa merupakan sebuah kewajiban bagi setiap umat Islam yang beriman. Jika kita melihat kewajiban ini ada sebuah praktik sosial yang berbeda dalam menjalani kewajiban ini. Sehingga dapat kita lihat, ibadah puasa yang dilakukan belum mempunyai nilai sosial yang lebih dari ibadah puasa tersebut. Karena pemahaman terhadapat arti puasa belumlah begitu sempurna.
Kata puasa yang berasal dari bahasa Arab, yaitu kata shoma, yashumu, shouman, secara etimologi mengandung arti menahan. Namun secara terminologi, puasa mengandung arti yang lebih dalam, yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari menurut syarat dan rukun tertentu.
Dalam artian secara terminologi di atas, puasa lazimnya tidak hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum saja. Lebih dari itu, puasa mengandung arti menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, lebih kurang 14 jam selama satu hari penuh menjelang berbuka pada waktu maghrib. Bukan hanya makan dan minum serta bersetubuh saja, tapi segala sesatu yang membatalkan puasa.
Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali membagi tingkatan orang yang berpuasa menjadi 3 tingkatan, yaitu :
Tingkatan puasa yang pertama adalah tingkatan puasa orang awwam.
Pada tingkatan puasa orang awwam ini, puasa diartikan oleh seseorang hanyalah menahan diri dari makan dan minum serta tidak bersetubuh bagi suami istri pada siang hari saja. Namun segala sikap, perkataan dan gerak geri yang dilakukannya selama berpuasa masih belum dipuasakannya. Tidak heran, di puasa masih sering terjadi perbuatan-perbuatan yang kurang terpuji, seperti mengunjing orang lain, berkata bohong, korupsi, dan yang lain.
Tingkatan yang kedua disebut puasa orang khusus.
Pada tingkatan puasa yang kedua ini, lebih tinggi dari tingkatan pertama. Karena orang yang berpuasa pada tingkatan kedua ini tidak hanya mempuasakan diri pada tataran menahan makan dan minum serta bersetubuh bagi pasangan suami istri sahaja. Akan tetapi, jauh dari itu mereka juga mempuasakan panca indera mereka. Baik itu mata, telinga, tangan, kaki, hidung dan indera yang lain. Dia berusaha untuk tidah berkata bohong, melihat kemaksiatan, tidak meng-ghibah (gosip) dan yang lainnya, yang dapat mengurangi nilai dari ibadah puasa mereka.
Pada tingkatan yang terakhir atau ketiga di sebut puasa orang khusus bil khusus.
Puasa pada tingkatan ini merupakan tingkatan puasa tertinggi yaitu orang yang berpuasa senantiasa untuk mempuasakan hatinya. Tidak terbersit sekalipun di dalam hati orang yang berpuasa pada tingkatan yang ketiga ini untuk melakukan sesuatu yang membatalkan puasanya, baik makan, minum, bersetubuh, panca indera dan niat-niat yang tercela. Dia senantiasa menjaga niatnya agar selalu mengingat Allah SWT.
Dari ketiga tingkatan (class) di atas, kita semestinya bisa mengoreksi dan mengevaluasi ibadah puasa yang kita lakukan. Apakah pada tingkatan pertama, kedua atau ketiga ?. Apabila puasa kita pada tingkatan pertama kita harus lebih berusaha untuk meningkatkan kualitas ibadah puasa yang kita lakukan. Sehingga menjadi lebih baik pada tingkatan kedua, dan tingkatan yang tertinggi. Sehingga kita merasakan manisnya Iman dan Islam dari ibadah yang dialkuka.
Jangan sampai ibadah puasa yang kita lakukan hanya mendapatkan lapar dan dahaga sahaja. Karena Allah SWT senantiasa melihat kesungguhan orang-orang mau memperbaiki dirinya. Dan Allah SWT akan membalas segala proses yang kita lakukan : “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya Dia akan (membalas)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya”. (Q.S. 99: 7-8).
Pada akhirnya, semoga puasa kita mendapatkan derajat yang kemuliaan dari Allah SWT yaitu orang-orang yang bertaqwa. Wallahua’lam bisshowab.

MANDI DI TEPI SUNGAI KAPUAS MEMAKAI KEMBAN; ANTARA ETIKA DAN MORAL

Oleh Haryanto

Syurr…terdengar gemercik air turun dari celah-celah tubuh seorang perempuan yang sedang mandi di tepi sungai Kapuas . Fenomena ini terjadi sepanjang hari dan menjadi kebiasaan bagi sebagian orang yang tinggal di tepian sungai Kapuas . Bagi sebagian orang melihat fenomena ini menjadi seseuatu yang biasa. Namun bagi sebagian yang lain menjadi sangat tidak biasa berdasarkan etika yang telah di alami di lain tempat atau pengalaman.
Fenomena ini boleh jadi dianggap biasa dan boleh jadi tidak baik. Namun begitulah kenyataannya. Mejadi realita sosial yang barangkali akan berlangsung terus menerus. Pertanyaan yang mengelitik adalah apakah itu baik atau buruk?
Dari berbagai standar penilaian yang berbeda, banyak alat ukur yang menentukan hal ini. Dalam perspektif moral dan etika, cara menanggapi fenomena ini tentu berbeda. Di sini akan kita lihat satu persatu.
Kata moral yang berasal dari bahasa latin yaitu mores. Mores berasal dari kata mos yang artinya kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral jugua mengandung arti ajaran tentang baik dan buruk peerbuatan dan kelakuan. Dengan asal katanya dapat kita tarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, yang memuat ajaran tentang baik buruknya perbuatan. Dengan ini, perbuatan dinilai sebagai perbuatan baik atau perbuatan buruk. (Burhanuddin Salam (2000) dalam buku Nuruddin, 2007: 242). Di sini kita masih belum menemukan standar baik buruk suatu perbuatan?.
Sedangkan kata etika juga berasal dari kata latin, ethic, yang berarti kebiasaan. Yang dimaksud baik dan buruk dalam hal ini tsesuai dengan kebiasaan masyarakat atau tidak, meskipun kebiasaan itu akan berubah selajan dengan perkembangan masyarakat. Etika sering diistilahkan dengan kata moral, susila, budi pekerti dan akhlak (Burhanuddin Salam (2000) dalam buku Nuruddin, 2007: 242).
Jika demikian apa perbedaan antara kedua kata tersebut? Karena kita melihat kedua kata ini hamper sama diantaa kedunya. Untuk lebih jelasnya, menurut Magnis Suseno dalam buku Burhanuddin Salam (1997: 1) bahwa perbedaan antara moral dan etika itu ada.
Moral adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan dan pengejewantahan secara kritis atau rasional ajaran moral yang siap pakai itu. Karena etika adalah refleksi kritis terhadap moralitas, maka etika etika tidak bermaksud untuk membuat orang bertindak sesuai dengan moral itu sendiri. Meskipun pada harapannya etika itu menghimbau manusia untuk berbuat sesuai dengan moral. Tetapi tindakan itu bukan diperintahkan oleh oleh moral, melainkan kaena ia sendiri tahu bahwa itu memang baik atau buruk.
Dari pengertian di atas setidaknya ada titik temu yang menjadi perbincangan dalam melihat kasus di atas. Untuk mengetahuinya, Pertama, dari segi moral atau etika orang yang mandi hanya menggunakan kempan di tepi sungai kapuas. Jika kita melihat hal ini, kita harus melihat standar atau tolak ukur dari kedua hal di atas?.
Dari pemamparan di atas, sesungguhnya talak ukur moral adalah baik dan buruk berdasarkan sistem yang mapan baik itu berasal dari budaya masyarakat atau agama. Sedangkan tolak ukur dari sebuah etika adalah hati rasional manusia yang bermuara pada hati nurani yang mementukan apakah suatu perbuatan benar atau salah.
Contoh dalam kasus di atas, dalam pandangan Islam, sumber moral di peroleh dari al-quran dan hadits. Dalam al-quran Tuhan menyuruh manusia menutup aurat. Dalam kasus ini jelas bahwa dari pandangan Islam, perbuatan ini memang salah atau tidak baik.
` Namun, jika kita lihat dari budaya (kebiasaan) orang mandi dengan kemban, yang menjadi ukuran adalah budaya(kebiasaan), asal orang tidak berlebihan dalam memakai kemban sehingga tidak menimbulkan nafsu. Jika ini menjadi ukuran ini tentu sesuatu yang tidak salah atau baik.
Pada kedua sisi di atas dalam melihat fenomena ini tentu berbeda, di sinilah fungsi akal manusia yang berpunca dari hati nurani untuk melakukan telaah kritis terhadap fenomena ini. Kita akan bisa menilai apakah dari segi moral perbuatan kita buruk atau baik, etika ini yang menilai salah atau benarnya.
Menurut hemat penulis, dalam kasus ini, moral dan etika dalam perihal melihat suatu kejadian ia singkron. Aturan yang telah digariskan baik itu melalui norma agama dan budaya di buat dari pertimbangan akal yang bersumber dari hati nuani manusia. Sehingga mampu memberikan aturan bagi manusia dalam bertindak dan menilai mana yang baik dan buruk atau mana yang salah atau benar.

BELAJAR DARI PEMIMPIN

BELAJAR DARI PEMIMPIN

Pada saat sekolah dasar sampai menengah kita diajarkan mata pelaran PPKn. Salah satu materi ajaran adalah bagaimana kita harus mementingkan kepentingan umum terlebih dahulu baru kepentingan pribadi. Atau dalam Islam disebut Itsar. Kepribadian ini ditunjukan oleh kedua pemipin kita, Bapak Cornelis dan Bapak Sutrmidji. Dimana pada saat libur mereka tetap masuk kantor. Ini merupakan contoh yang sangat baik dari seorang pemimpin. Sudah lama kita menantikan pemimpin yang memberikan contoh yang baik.
Pemimpin sekarang memang harus bekerja eksta keras untuk memutar otak dan pikiran dengan segudang persoalan daerah yang ada. Persoalan sampah, jalan, air bersih, dan pelayanan publik lainmnya. Semua itu menjadi persoalan yang harus segera di atasi oleh kita sekarang. Mudah-mudahan ini menjadi contoh baik bagi yang lain. Dan dapat merambah kepada contoh-contoh yang lain. Amin!!!

Terbit diharian Pontianak Post, 01 Januari 2008