Jumat, 02 Januari 2009

MAKNA FILOSOFIS SHALAT BERJAMA'AH

Oleh Haryanto
Adzan terdengar dimana-mana mengajak umat muslim untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Selain merupakan tanda waktu bahwa shalat telah masuk waktunya agar tidak dilalaikan. Begitulah Allah telah mewajibkan;
“Maka dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya kepada orang-orang yang beriman (An-Nisa’ (Wanita)(4): 1
Shalat berjama’ah merupakan shalat yang sangat dianjurkan oleh agama Islam dengan segala keutamaannya. Sebut saja 27 derajat lebih baik berdasarkan sabda Rasulullah yang artinya :
“Shalat berjama’ah itu lebih utama dari pada shalat sendirian, dengan terpaut dua puluh tujuh derajat”.
Secara simbolis dan tekstual, makna shalat berjama’ah memang lebih utama dari shalat sendirian. Dengan balasan pahala yang dijanjikan. Lebih jauh dari itu, muncul pertanyaan, Apakah kita shalat berjama’ah hanya mengharapkan pahala ?, atau Kenapa kita harus shalat berjama’ah ?. Jika jawabannya ya, lalu muncul lagi pertanyaan, apakah Tuhan hanya adanya di masjid ?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan untuk mengutak-atik kepercayaan kita. Akan tetapi, ini bermaksud untuk mencari keyakinan sejati tentang apa-apa yang kita lakukan. Agar kita tahu hakikat sejati dari apa yang kita perbuat. Bukan hanya karena ikut-ikutan atau niatan lainnya.
Sesungguhnya makna secara filosofis dalam benak saya adalah bahwa di dalam shalat berjama’ah ada proses ketahuidan dari proses kepercayaan manusia akan Allah SWT. Ini juga merupakan gerakan ilahiah dari dalam diri manusia yang bersifat abstrak (tidak nyata) yang hanya bisa dirasakan oleh manusia itu sendiri. Sehingga terkadang sentuhan ilahiah ini yang meumbuhkan ketenangan, kedamaian, dan ketentraman dalam jiwa manusia yang terkadang tidak semua orang bisa merasakannya. Tak jarang menimbulkan rasa haru sehingga tak sadar butir-butir air mata keluar dari mata dari sentuhan ilahiah tersebut.
Ada suatu realita yang terjadi di masyarakat, sebagai contoh bahwa sebuah pemaknaan dari orang yang pergi shalat berjama’ah ke masjid. Orang yang pergi ke masjid dengan makna filosofis yang ada dalam shalat berjama’ah. Sesungguhnya bukan semata-mata bahwa dia mampu pergi ke masjid dengan fasilitas dan kondisi yang ada. Seperti dia sehat, kuat, kaya, “tidak punya masalah”, rumahnya dekat dengan masjid, ada kendaraan atau yang lainnya.
Kenyataanya, banyak kita lihat orang yang bisa mampu dengan fasilitas dan kondisi yang baik. Dia juga tidak pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah bahkan dia lebih shalat sendirian di rumah. Inilah bahwa sesungguhnya shalat berjama’ah bukan semata-mata bahwa kita “mampu” tetapi adanya unsur lain yang saya sebutkan adalah gerakan ilahiah.
Shalat sendirian di rumah tentu memiliki alas an sendiri untuk itu. Mampukah kita shalat secara khusyu’ di masjid dengan kondisi masjid yang kotor dan suasana bising atau rebut karena pengaruh-pengaruh yang lain. Mungkinkah kita lebih merasakan khusyu’ shalat sendirian di rumah dengan suasana yang hening dan tenang. Sehingga konteksnya kita lebih dekat dengan Allah dibanding dengan shalat berjama’ah. Bukankah itu alas an yang tidak salah.
Inilah alas an rasional yang terkadang muncul dalam benak kita. Perihal ini juga harus kita terjemahkan dalam bahasa dan makna rasional filosofis yang ada dalam realita itu. Secara konteks ini shalat berjama’ah mempunyai makna adalah puncak persatuan umat Islam. Dimana masjid kita ketahui pada masa dahulu merupakan center of activity (pusat aktivitas) bagi umat Islam.
Masjid dijadikan pusat kegiatan baik agama, sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, budaya, dan yang lainnya. Sehingga berbagai persoalan dapat dibicarakan di masjid dan solusi dari persoalan tersebut. Berkumpulnya umat muslim di masjid dapat dijadikan upaya pembangunan dan advokasi dalam mengatasi persoalan umat. Berbagai ide dan gagasan dapat direlisasikan untuk kepentingan bersama bagi kesejahteraan umat manusia.
Di masjid juga dapat saling mengenal dan berkomunikasi antar satu dengan yang lain. Hal ini dapat meninbulkan pemahaman dari berbagai karakteristik dan pribadi dalam suatu masyarakat. Hal ini tentu akan menekan terjadinya konflik antar umat karena perbedaan yang ada. Wallahu a’lam Bishshawab.

Diterbitkan dalam Buletin Al-Misyki

1 komentar: